[arsip kimfricung] Langit-langit Kaca, Lantai yang Lengket, atau…?

seruak
4 min readMay 28, 2023

--

A pixelated arcade-like scene with a woman character trapped on the jagged floor.

Langit-langit kaca, lantai yang lengket, anak tangga yang rusak, dinding kaca, pintu jebakan, adalah sederet metafora yang menggambarkan berbagai elemen dari “arsitektur” suatu organisasi yang bias gender, yang membatasi kesempatan karier, wewenang, dan/atau jumlah perempuan dalam organisasi tersebut.

Lantai yang Lengket

“sebagian besar perempuan seharusnya merasa amat beruntung menghadapi masalah berupa langit-langit kaca. Banyak [perempuan] terjebak dalam… lantai yang lengket.”

(Berheide, ketika diwawancarai oleh Laabs pada tahun 1993)

Metafora “sticky floor” atau “lantai yang lengket” pertama kali dicetuskan pada tahun 1992 oleh Catherine Berheide dalam laporan “Women in Public Service”, terbitan Center for Women in Government, SUNY at Albany.

Metafora ini menggambarkan betapa jenis pekerjaan tertentu menghalangi perempuan (dan sebagian laki-laki) untuk beranjak/keluar dari posisi yang berada pada dasar hierarki, tidak terlihat, bergaji rendah, tidak bergengsi, dengan kesempatan terbatas untuk promosi/tanpa jalur karier. Misalnya, pekerjaan terkait administrasi, para-profesional/pekerja terlatih di bidang tertentu tapi tidak memiliki lisensi untuk melakukan praktik/profesi tersebut, dan pekerja layanan pemeliharaan.

Sekalinya seorang perempuan dilekatkan dengan pekerjaan jenis ini, kemampuannya untuk melakukan pekerjaan yang levelnya lebih tinggi akan dipertanyakan (Guy, 1994).

Anak Tangga yang Rusak

Metafora “anak tangga yang rusak” menggambarkan tidak sebandingnya jumlah perempuan dan laki-laki yang dipromosikan dari posisi staf junior menuju jenjang pertama posisi managerial.

Contohnya, menurut hasil penelitian McKinsey & Co. dan Leanin.org pada tahun 2020 terhadap 317 perusahaan dan lebih dari 40 ribu pegawai di AS, untuk setiap 100 laki-laki yang dipromosikan ke jenjang manager, hanya 85 perempuan yang dipromosikan. Pada awal 2020, perempuan menempati hanya 38% posisi manager, dibandingkan dengan 62% laki-laki.

Dalam jangka panjang, oleh karena jauh lebih banyak laki-laki yang menempati posisi manager, pada gilirannya pun lebih banyak laki-laki juga pada posisi itu yang akan dipromosikan menjadi manager senior dan jenjang yang lebih tinggi. Meskipun ada kemajuan kesempatan rekrutmen dan promosi terhadap perempuan pada level senior, secara keseluruhan perempuan tidak akan dapat mengejar ketertinggalan itu karena jumlahnya dari awal kenaikan jenjang ke manager terlalu sedikit dibandingkan laki-laki.

Langit-langit Kaca

“Langit-langit kaca” pertama kali dicetuskan oleh Marilyn Loden pada tahun 1978. Metafora ini menggambarkan hambatan transparan yang menghalangi perempuan untuk naik ke jenjang karier lebih tinggi dari level tertentu dalam organisasi. Bukan karena ketidakmampuan, melainkan karena bias/prasangka organisasi terhadap gender mereka. Dengan kata lain, “langit-langit kaca” menggambarkan adanya segregasi vertikal pada organisasi berdasarkan gender.

Dinding Kaca

Metafora “dinding kaca” menggambarkan adanya segregasi horizontal pada bidang-bidang pekerjaan, yang berkaitan erat dengan stereotip gender (Guy, 1994). Sebagai contoh, tenaga kerja perempuan umumnya terkonsentrasi pada bidang yang secara tradisional diasosiasikan dengan feminitas, seperti kesehatan, keperawatan, pendidikan dasar dan menengah, dan layanan sosial. Selain itu, pekerja perempuan juga biasanya terpusat pada unit kerja yang lemah secara struktural yang tidak memungkinkan mereka meraih pengalaman yang krusial, seperti perumusan kebijakan dan anggaran, untuk kenaikan jabatan. Posisi yang telah terfeminisasi ini dinilai lebih rendah daripada bidang-bidang pekerjaan yang didominasi laki-laki.

Pintu Jebakan

Metafora “pintu jebakan” menggambarkan betapa respons perempuan ketika mengalami pelecehan seksual di tempat kerja dapat mengantarkan kariernya menuju kehancuran.

Jika ia mengonfrontasi si pelaku, ia akan dicap “lebay”, “baperan”, dan sebagainya.

Jika ia melaporkan, ia akan dianggap “pembuat onar”.

Jika tidak merespons, dia akan dianggap “mengundang” untuk dilecehkan.

Jika dia menjadi saksi atas pengaduan pelecehan seksual, dia akan dipinggirkan.

Satu salah langkah saja akan membuatnya terjatuh lewat pintu jebakan. Kalau sudah begitu, ia harus memulai lagi dari nol dalam kariernya. Perjuangan meniti kembali jenjang karier ini akan makin sulit karena ia sudah telanjur distigma akibat pelecehan seksual tersebut.

Rangkuman

Elemen “arsitektur” yang bias gender dalam suatu organisasi dan efeknya pada karier perempuan (Guy, 1994):

  1. perempuan sebagai pemeran pembantu → lantai yang lengket
  2. otoritas dipegang oleh laki-laki → anak tangga yang rusak dan langit-langit kaca
  3. stereotip gender → dinding kaca
  4. etos gender (budaya organisasi yang memengaruhi hubungan antargender di dalamnya) → pintu jebakan

Berbagai hambatan struktural yang dihadapi perempuan dalam meniti karier tersebut bukan saling terisolasi, melainkan saling berkaitan dan muncul dalam berbagai jenjang karier. Begitu salah satu berhasil dilampaui, hambatan struktural lainnya akan muncul.

Rujukan

Guy, Mary E. (1994). Organizational architecture, gender, and women’s careers. Review of Public Personnel Administration, 14(2), 77–90.

Harlan, Sharon L. & Berheide, Catherine W. (1994). Barriers to work place advancement experienced by women in low-paying occupations. Federal Publications, Paper 122.

Laabs, J. (1993). The sticky floor beneath the glass ceiling. Personnel Journal, 72(5), 35–39 dalam Still, Leonie V. (1997). Glass ceilings and sticky floors: Barriers to the careers of women in the Australian finance industry. A report prepared for the Human Rights and Equal Opportunity Commission and Westpac.

Loden, Marilyn. (Dec 13, 2017). “100 Women: ‘Why I invented the glass ceiling phrase’”. Retrieved from https://www.bbc.com/news/world-42026266.

McKinsey & Company and Leanin.org. (2020). Women in the Workplace 2020.

Morrison Ann M., White, Randall P., Van Velsor, Ellen, and The Center for Creative Leadership. (1987). Breaking the Glass Ceiling: Can Women Reach the Top of America’s Largest Corporations? Reading (MA): Addison Wesley. (2nd edn. 1992; republished 1994 by Basic Books.) dalam Morgan, Mary S. (2015). Glass ceilings and sticky floors: Drawing new ontologies. Economic History Working Papers, 228.

Noble, Barbara P. (Nov 22, 1992). “At Work; And Now the ‘Sticky Floor’” The New York Times section 3 p. 23; retrieved from https://www.nytimes.com/1992/11/22/business/at-work-and-now-the-sticky-floor.html.

--

--